PERBAIKAN STABILITAS LERENG DENGAN METODE VEGETASI PRODUKTIF
Metode vegetasi produktif adalah metode 
stabilisasi lereng yang memanfaatkan tanaman sebagai media untuk 
mengikat tanah. Metode dengan memanfaatkan tanaman produktif sebagai 
tanaman pencegah erosi dan longsor ini, selain terfokus pada menciptakan
 lereng yang stabil , juga berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
Menjelang awal tahun 2012 curah hujan di 
beberapa daerah di Indonesia semakin meningkat, bahkan di beberapa 
daerah sudah terjadi bencana banjir. Bahkan, longsor dan banjir bandang 
juga meluluhlantakan pemukiman masyarakat, seperti yang terjadi di Desa 
Tiang, Kecamatan Kejajar, Wonosobo Jawa tengah beberapa waktu lalu, yang
 menyisakan kepedihan mendalam bagi msayarakat yang tertimpa bencana.
Bagi daerah lain yang rawan longsor dan 
banjir, juga menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya bencana di musim 
hujan tersebut. Apalagi pada saat puncak musim hujan yang diprediksi 
akan terjadi antara Januari-Maret 2012 mendatang, masyarakat merasa 
was-was akan datangnya bencana yang sering terjadi saat musim hujan.
Di daerah-daerah yang rawan tanah 
longsor, pada saat curah hujan yang tinggi, ditambah dengan kondisi 
lereng yang tidak stabil, sangat rentang terhadap kelongsoran. Air hujan
 yang meresap ke dalam tanah, selain menurunkan nilai kohesi tanah, juga
 menambah massa tanah tersebut. Dari beberapa kasus longsor yang terjadi
 selama ini, diketahui terdapat enam tipe utama longsoran, antara lain :
 mengalir, ambrukan, melorot, meluncur, merayap dan jatuhan. Seluruh 
tipr longsoran tersebut diakibatkan karena tidak adanya ikatan yang kuat
 antara lapisan tanah atas (topsoil) dan lapisan bedrock di bawahnya.
Resiko Longsor
Pada kondisi lereng yang stabil massa lapisan tanah atas mampu ditahan oleh kohesi antar partikel tanah topsoil, adhesi lapisan topsoil dan bedrock.
 Jika terdapat vegetasi pada lapisan tanah atas, akar-akar vegetasi yang
 ada juga mampu menahan gayagravitasional oleh massa tanah akibat 
terdapat slope atau kemiringan.
Sementara itu, pada lereng yang diakibatkan oleh aktivitas manusia, stabilitas dapat diperoleh dengan membangun turap, lining, retaining wall,
 dan sebagainya. Namun tanpa sadar seringkali manusia melakukan 
kesalahan dengan merubah kondisi asal lereng, dengan menambah massa pada
 lapisan topsoil, seperti mendirikan bangunan-bangunan maupun 
merubah vegetasi asli. Atau dengan kata lain, merubah fungsi lahan tanpa
 melakukan treatment yang dapat mengantisipasi perubahan kondisi lereng 
tersebut, sehingga menjadi tidak stabil.
Lapisan topsoil atau seringkali disebut sebagai disturbed
 soil merupakan tanah campuran yang terdiri dari endapan, bahan organic 
ataupun hasil pelapukan lapisan dibawahnya, sehingga kondisinya 
heterogen. Vegetasi yang tumbuh di atas lapisan tanah ini, juga membuat 
pori-pori tanah menjadi besar. Tanah permukaan biasanya ditemui dalam 
kondisi loose atau berbutir tanpa ikatan antar butir tanah yang
 kuat. Sehingga, pada saat terjadi hujan dengan durasi pendek, tanah 
dengan pori-pori besar mampu menyerap air dengan sangat baik. Namun, 
jika hujan terjadi dengan intensitas yang tinggi dangan durasi yang 
lama, maka tanah menjadi jenuh air, sehingga kohesi antar butir tanah 
menjadi semakin kecil.
Selain itu, nilai kohesi tanah juga turun
 dan tanah yang telah jenuh dengan air tidak mampu lagi menyerap air 
hujan. Sehingga, air hujan akan berubah menjadi limpasan atau aliran 
permukaan. Pada lereng yang curam, air yang melimpas tersebut memiliki 
gaya yang cukup untuk mengangkut butir-butir tanah atau sering disebut 
erosi. Ditambah lagi, apabila lapisan tanah ini terletak pada lapisan 
batuan yang sejajar dengan bidang gelincir, maka kemungkinan terjadi 
longsor menjadi semakin besar.
Jenis tanah juga memiliki pengaruh besar,
 karena tiap jenis tanah memiliki sudut gelincir yang berbeda. Sudut 
gelincir ini menentukan besarnya sudut maksimum yang mampu dibuat oleh 
suatu jenis tanah yang masih dapat dikatakan stabil. Selain itu, faktor 
penggunaan lahan juga memiliki peran terkait dengan stabilitas lereng. 
Makin cepat laju perubahana fungsi lahan dan pembukaan hutan, resiko 
longsor yang ditimbulkan semakin besar.
Mencegah Longsor
Upaya pencegahan longsor sebenarnya sudah
 banyak dilakukan dari metode tradisional atau sederhana dan berkembang 
hingga metode berteknologi canggih yang rumit dan mahal. Yang paling 
sederhana adalah membuat terasering. Namun, upaya ini hanya terfokus 
pada minimalisasi erosi akibat limpasan air hujan.
Untuk metode pencegahan longsor dengan cara yang lebih rumit, diantaranya adalah dengan pembangunan turap, retaining wall maupun sheet pile
 pada lereng. Cara-cara ini mampu meng-counter gaya yang timbul akibat 
perubahan morfologi lereng, yang kebanyakan dibuat lebih curam maupun 
lebih tinggi. Namun, penggunaan cara ini belum mampu mengantisipasi 
adanya longsoran-longsoran kecil, karena cara-cara di atas belum ada 
yang mampu mengikat tiap butir tenah secara baik. Yang dilindungi hanya 
tepi lereng yang diberi dinding penahan, sedangkan lapisan atas tanah 
dibiarkan terbuka.
Metode pencegahan longsor lainnya 
menggunakan lapisan geosintetik yang belakangan banyak dilakukan. Pada 
prinsipnya, metode ini dilakukan untuk mengikat butir-butir tanah dengan
 memberikan lapisan selimut lolos air (permeable) untuk 
menutupi seluruh permukaan tanah. Pada daerah dengan lereng curam, 
biasanya lapisan geosintetik diikat ke lapisan tanah keras menggunakan 
angkur. Namun, kelemahan dari metode ini, selain biaya yang mahal dan 
proses yang rumit, lapisan tanah yang tertutup menjadi tidak produktif 
dan hanya mungkin ditumbuhi oleh rerumputan.
Pada daerah pertanian dan perkebunan 
seperti Lembang dan sekitarnya, metode geosintetik tentu saja tidak 
dapat diterapkan dalam skala yang luas untuk melindungi lereng secara 
keseluruhan. Walaupun di atas lapisan geosintetik dapat ditutup dengan 
lapisan tanah, namun pasti tingkat produktifitasnya tidak sebaik tanah 
asli. Akar-akar tanaman yang ada dapat merusak lapisan geosintetik. 
Metode ini hanya cocok diterapkan pada bangunan infrastruktur sipil yang
 memang memerlukan kestabilan lereng yang baik, seperti :jalan, lining pada sungai, dan sebagainya.
Metode vegetasi lereng
Isu global warming yang 
mendengungkansegala sesuatu yang bertajuk green juga memunculkan metode 
stabilisasi lereng yang memanfaatkan tanaman sebagai media untuk 
mengikat tanah. Rumput vetiver (Vetiveria zizanioides)merupakan salah satu tanaman yang banyak dipakai.
Rumput vetiver, merupakan jenis 
rerumputan yang memiliki keunggulan, yaitu batang yang tinggi dan system
 akar serabut yang mampu tumbuh hingga mencapai 5 meter ke dalam tanah. 
Akar rumput vetiver mengikat lapisan tanah permukaan ke lapisan bedrock,
 sehingga mampu mengantisipasi terjadinya pergerakan tanah. Sistem akar 
serabut, juga berfungsi untuk mengumpulkan butir-buitr tanah, sehingga 
apabila terjadi limpasan air, butir tanah tertahan oleh akar dan tidak 
terjadi erosi.
Jenis rumput vetiver biasa ditanam 
membentuk pagar dengan jarak tertentu sebanyak beberapa lapis. 
Pemanfaatan rumput vetiver telah banyak dilakukan baik oleh instansi 
pemerintah maupun swasta pada proyek jalan tol maupun kanal.
Namun rumput vetiver bukanlah tanaman 
produktif. Vetiver hanya berfungsi sebagai pagar yang tidak dapat 
dimanfaatkan sebagai bahan pangan maupun bahan baku. Pada wilayah 
pertanian dan perkebunan yang terletak di daerah pegunungan maupun 
berlereng curam, sekali lagi penggunaan rumput vetiver tidak dapat 
diterapkan secara luas. Rumput vetiver hanya cocok diterapkan pada lahan
 dengan kondisi kritis maupun wilayah non produksi, seperti bantaran 
sungai. Pada wilayah seperti ini, petani cenderung memilih tanaman yang 
memberikan manfaat secara ekonomi walaupun dengan resiko erosi dan 
longsor.
Metode lain untuk mencegah longsor, 
adalah dengan memanfaatkan tanaman produktif sebagai tanaman pencegah 
erosi dan longsor. Metode ini menggunakan prinsip yang dipakai oleh 
metode geosintetik dengan memanfaatkan system perakaran yang dimiliki 
tumbuhan. Tanaman dengan akar serabut atau menjalar ditanam untuk 
mengikat butir-butir tanah agar tidak terbawa oleh aliran air hujan. 
Sedangkan tanaman berakar tunjang dimanfaatkan sebagai angkur yang 
mengikat tanah permukaan dengan bedrock.
Pemilihanjenis tanaman sangat bervariasi 
dan disesuaikan dengan ketersediaan tanaman dengan kebutuhan masyarakat 
setempat. Tanaman yang dipilih harus memiliki siklus panen yang berbeda 
untuk menghindari terbukanya lahan akibat panen yang bersamaan.
Untuk tanaman berakar tunjang yang 
biasanya merupakan tanaman besar, juga perlu dilakuka pemilihan yang 
tepat. Jangan sampai tanaman yang dipilih memberikan beban yang berlebih
 pada tanah yang tidak sebanding dengan kemampuan akarnya mengikat 
tanah.
Pemilihan tanaman juga harus disesuaikan 
dengan jenis tanah di lokasi. Hal ini menjadi penting, karena jenis 
tanaman tertentu membutuhkan tanah tertentu pula untuk tumbuh. Jenis 
tanah juga berpengaruh terhadap besarnya sudut geser, massa jenis dan 
sifat fisik lainnya. Parameter fisik ini akan menentukan seberapa curam 
lereng yang mampu dibentuk, berapa massa tanah yang harus ditahan oleh 
akar, dan kemungkinan longsor akibat pembebanan tanaman serta akibat 
penambahan air pada saat hujan.
Pemanfaatan metode vegetasi ini, 
dirasakan cukup tepat untuk daerah pertanian maupun perkebunan. Metode 
ini tidak hanya terfokus pada menciptakan lereng yang stabil, namun juga
 berorientasi pada kesejahteraan masyarakat sekitar.
Pemilihan metode yang tepat untuk 
diterapkan pada kondisi lahan yang berbeda-beda, merupakan poin penting 
bagi para stakeholder sehingga tercipta keadaan yang optimal, tanpa 
mengabaikan fungsi utama sebagai penahan tanah (Awaludin F Aryanto)
Dikutip dari : Majalah Techno Konstruksi Edisi Januari 2012
sumber entry : http://fadlyfauzie.wordpress.com/2012/05/16/perbaikan-stabilitas-lereng-dengan-metode-vegetasi-produktif/