Posted May 16, 2012
on:
PERBAIKAN STABILITAS LERENG DENGAN METODE VEGETASI PRODUKTIF
Metode vegetasi produktif adalah metode
stabilisasi lereng yang memanfaatkan tanaman sebagai media untuk
mengikat tanah. Metode dengan memanfaatkan tanaman produktif sebagai
tanaman pencegah erosi dan longsor ini, selain terfokus pada menciptakan
lereng yang stabil , juga berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
Menjelang awal tahun 2012 curah hujan di
beberapa daerah di Indonesia semakin meningkat, bahkan di beberapa
daerah sudah terjadi bencana banjir. Bahkan, longsor dan banjir bandang
juga meluluhlantakan pemukiman masyarakat, seperti yang terjadi di Desa
Tiang, Kecamatan Kejajar, Wonosobo Jawa tengah beberapa waktu lalu, yang
menyisakan kepedihan mendalam bagi msayarakat yang tertimpa bencana.
Bagi daerah lain yang rawan longsor dan
banjir, juga menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya bencana di musim
hujan tersebut. Apalagi pada saat puncak musim hujan yang diprediksi
akan terjadi antara Januari-Maret 2012 mendatang, masyarakat merasa
was-was akan datangnya bencana yang sering terjadi saat musim hujan.
Di daerah-daerah yang rawan tanah
longsor, pada saat curah hujan yang tinggi, ditambah dengan kondisi
lereng yang tidak stabil, sangat rentang terhadap kelongsoran. Air hujan
yang meresap ke dalam tanah, selain menurunkan nilai kohesi tanah, juga
menambah massa tanah tersebut. Dari beberapa kasus longsor yang terjadi
selama ini, diketahui terdapat enam tipe utama longsoran, antara lain :
mengalir, ambrukan, melorot, meluncur, merayap dan jatuhan. Seluruh
tipr longsoran tersebut diakibatkan karena tidak adanya ikatan yang kuat
antara lapisan tanah atas (topsoil) dan lapisan bedrock di bawahnya.
Resiko Longsor
Pada kondisi lereng yang stabil massa lapisan tanah atas mampu ditahan oleh kohesi antar partikel tanah topsoil, adhesi lapisan topsoil dan bedrock.
Jika terdapat vegetasi pada lapisan tanah atas, akar-akar vegetasi yang
ada juga mampu menahan gayagravitasional oleh massa tanah akibat
terdapat slope atau kemiringan.
Sementara itu, pada lereng yang diakibatkan oleh aktivitas manusia, stabilitas dapat diperoleh dengan membangun turap, lining, retaining wall,
dan sebagainya. Namun tanpa sadar seringkali manusia melakukan
kesalahan dengan merubah kondisi asal lereng, dengan menambah massa pada
lapisan topsoil, seperti mendirikan bangunan-bangunan maupun
merubah vegetasi asli. Atau dengan kata lain, merubah fungsi lahan tanpa
melakukan treatment yang dapat mengantisipasi perubahan kondisi lereng
tersebut, sehingga menjadi tidak stabil.
Lapisan topsoil atau seringkali disebut sebagai disturbed
soil merupakan tanah campuran yang terdiri dari endapan, bahan organic
ataupun hasil pelapukan lapisan dibawahnya, sehingga kondisinya
heterogen. Vegetasi yang tumbuh di atas lapisan tanah ini, juga membuat
pori-pori tanah menjadi besar. Tanah permukaan biasanya ditemui dalam
kondisi loose atau berbutir tanpa ikatan antar butir tanah yang
kuat. Sehingga, pada saat terjadi hujan dengan durasi pendek, tanah
dengan pori-pori besar mampu menyerap air dengan sangat baik. Namun,
jika hujan terjadi dengan intensitas yang tinggi dangan durasi yang
lama, maka tanah menjadi jenuh air, sehingga kohesi antar butir tanah
menjadi semakin kecil.
Selain itu, nilai kohesi tanah juga turun
dan tanah yang telah jenuh dengan air tidak mampu lagi menyerap air
hujan. Sehingga, air hujan akan berubah menjadi limpasan atau aliran
permukaan. Pada lereng yang curam, air yang melimpas tersebut memiliki
gaya yang cukup untuk mengangkut butir-butir tanah atau sering disebut
erosi. Ditambah lagi, apabila lapisan tanah ini terletak pada lapisan
batuan yang sejajar dengan bidang gelincir, maka kemungkinan terjadi
longsor menjadi semakin besar.
Jenis tanah juga memiliki pengaruh besar,
karena tiap jenis tanah memiliki sudut gelincir yang berbeda. Sudut
gelincir ini menentukan besarnya sudut maksimum yang mampu dibuat oleh
suatu jenis tanah yang masih dapat dikatakan stabil. Selain itu, faktor
penggunaan lahan juga memiliki peran terkait dengan stabilitas lereng.
Makin cepat laju perubahana fungsi lahan dan pembukaan hutan, resiko
longsor yang ditimbulkan semakin besar.
Mencegah Longsor
Upaya pencegahan longsor sebenarnya sudah
banyak dilakukan dari metode tradisional atau sederhana dan berkembang
hingga metode berteknologi canggih yang rumit dan mahal. Yang paling
sederhana adalah membuat terasering. Namun, upaya ini hanya terfokus
pada minimalisasi erosi akibat limpasan air hujan.
Untuk metode pencegahan longsor dengan cara yang lebih rumit, diantaranya adalah dengan pembangunan turap, retaining wall maupun sheet pile
pada lereng. Cara-cara ini mampu meng-counter gaya yang timbul akibat
perubahan morfologi lereng, yang kebanyakan dibuat lebih curam maupun
lebih tinggi. Namun, penggunaan cara ini belum mampu mengantisipasi
adanya longsoran-longsoran kecil, karena cara-cara di atas belum ada
yang mampu mengikat tiap butir tenah secara baik. Yang dilindungi hanya
tepi lereng yang diberi dinding penahan, sedangkan lapisan atas tanah
dibiarkan terbuka.
Metode pencegahan longsor lainnya
menggunakan lapisan geosintetik yang belakangan banyak dilakukan. Pada
prinsipnya, metode ini dilakukan untuk mengikat butir-butir tanah dengan
memberikan lapisan selimut lolos air (permeable) untuk
menutupi seluruh permukaan tanah. Pada daerah dengan lereng curam,
biasanya lapisan geosintetik diikat ke lapisan tanah keras menggunakan
angkur. Namun, kelemahan dari metode ini, selain biaya yang mahal dan
proses yang rumit, lapisan tanah yang tertutup menjadi tidak produktif
dan hanya mungkin ditumbuhi oleh rerumputan.
Pada daerah pertanian dan perkebunan
seperti Lembang dan sekitarnya, metode geosintetik tentu saja tidak
dapat diterapkan dalam skala yang luas untuk melindungi lereng secara
keseluruhan. Walaupun di atas lapisan geosintetik dapat ditutup dengan
lapisan tanah, namun pasti tingkat produktifitasnya tidak sebaik tanah
asli. Akar-akar tanaman yang ada dapat merusak lapisan geosintetik.
Metode ini hanya cocok diterapkan pada bangunan infrastruktur sipil yang
memang memerlukan kestabilan lereng yang baik, seperti :jalan, lining pada sungai, dan sebagainya.
Metode vegetasi lereng
Isu global warming yang
mendengungkansegala sesuatu yang bertajuk green juga memunculkan metode
stabilisasi lereng yang memanfaatkan tanaman sebagai media untuk
mengikat tanah. Rumput vetiver (Vetiveria zizanioides)merupakan salah satu tanaman yang banyak dipakai.
Rumput vetiver, merupakan jenis
rerumputan yang memiliki keunggulan, yaitu batang yang tinggi dan system
akar serabut yang mampu tumbuh hingga mencapai 5 meter ke dalam tanah.
Akar rumput vetiver mengikat lapisan tanah permukaan ke lapisan bedrock,
sehingga mampu mengantisipasi terjadinya pergerakan tanah. Sistem akar
serabut, juga berfungsi untuk mengumpulkan butir-buitr tanah, sehingga
apabila terjadi limpasan air, butir tanah tertahan oleh akar dan tidak
terjadi erosi.
Jenis rumput vetiver biasa ditanam
membentuk pagar dengan jarak tertentu sebanyak beberapa lapis.
Pemanfaatan rumput vetiver telah banyak dilakukan baik oleh instansi
pemerintah maupun swasta pada proyek jalan tol maupun kanal.
Namun rumput vetiver bukanlah tanaman
produktif. Vetiver hanya berfungsi sebagai pagar yang tidak dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pangan maupun bahan baku. Pada wilayah
pertanian dan perkebunan yang terletak di daerah pegunungan maupun
berlereng curam, sekali lagi penggunaan rumput vetiver tidak dapat
diterapkan secara luas. Rumput vetiver hanya cocok diterapkan pada lahan
dengan kondisi kritis maupun wilayah non produksi, seperti bantaran
sungai. Pada wilayah seperti ini, petani cenderung memilih tanaman yang
memberikan manfaat secara ekonomi walaupun dengan resiko erosi dan
longsor.
Metode lain untuk mencegah longsor,
adalah dengan memanfaatkan tanaman produktif sebagai tanaman pencegah
erosi dan longsor. Metode ini menggunakan prinsip yang dipakai oleh
metode geosintetik dengan memanfaatkan system perakaran yang dimiliki
tumbuhan. Tanaman dengan akar serabut atau menjalar ditanam untuk
mengikat butir-butir tanah agar tidak terbawa oleh aliran air hujan.
Sedangkan tanaman berakar tunjang dimanfaatkan sebagai angkur yang
mengikat tanah permukaan dengan bedrock.
Pemilihanjenis tanaman sangat bervariasi
dan disesuaikan dengan ketersediaan tanaman dengan kebutuhan masyarakat
setempat. Tanaman yang dipilih harus memiliki siklus panen yang berbeda
untuk menghindari terbukanya lahan akibat panen yang bersamaan.
Untuk tanaman berakar tunjang yang
biasanya merupakan tanaman besar, juga perlu dilakuka pemilihan yang
tepat. Jangan sampai tanaman yang dipilih memberikan beban yang berlebih
pada tanah yang tidak sebanding dengan kemampuan akarnya mengikat
tanah.
Pemilihan tanaman juga harus disesuaikan
dengan jenis tanah di lokasi. Hal ini menjadi penting, karena jenis
tanaman tertentu membutuhkan tanah tertentu pula untuk tumbuh. Jenis
tanah juga berpengaruh terhadap besarnya sudut geser, massa jenis dan
sifat fisik lainnya. Parameter fisik ini akan menentukan seberapa curam
lereng yang mampu dibentuk, berapa massa tanah yang harus ditahan oleh
akar, dan kemungkinan longsor akibat pembebanan tanaman serta akibat
penambahan air pada saat hujan.
Pemanfaatan metode vegetasi ini,
dirasakan cukup tepat untuk daerah pertanian maupun perkebunan. Metode
ini tidak hanya terfokus pada menciptakan lereng yang stabil, namun juga
berorientasi pada kesejahteraan masyarakat sekitar.
Pemilihan metode yang tepat untuk
diterapkan pada kondisi lahan yang berbeda-beda, merupakan poin penting
bagi para stakeholder sehingga tercipta keadaan yang optimal, tanpa
mengabaikan fungsi utama sebagai penahan tanah (Awaludin F Aryanto)
Dikutip dari : Majalah Techno Konstruksi Edisi Januari 2012
sumber entry : http://fadlyfauzie.wordpress.com/2012/05/16/perbaikan-stabilitas-lereng-dengan-metode-vegetasi-produktif/