Wednesday, September 26, 2012

Sejarah timor Leste



BAB 1
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
Wilayah timor leste merupakan salah satu wilayah dari kawasan Asia Tenggara, timor leste merupakan wilayah yang penuh dengan konflik dimana wilayah ini dulu pernah menjadi perebutan dari pihak colonial dan dulunya pula wilayah timor leste ini menjadi wlayah kesatuan dari NKRI. Timor leste juga merupakan wilayah yang kaya secara kultur dan budaya, maka dari itu kami sebagai pebyususn ingin mengangkat tema timor leste ini sebagai sumber pengetahuan bagi kita semua dan untuk mengkaji segala konflik yang ada di dalamnya.
2. Rumusan masalah
Dari latar belakang diatas, kami dapat merumuskan beberapa masalah, yaitu:
1. Bagaimana proses awal masuknya Portugis di Timor Leste?
2. Bagaimana bentuk kepemerintahan Portugis selama menduduki Timor Leste?
                        3    Bagaimana Proses Memecahnya Timor Leste dari NKRI?
                       
3. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:
1        Untuk mengetahui proses masuknya Portugis di Timor Leste dan latar belakangnya.
2        Untuk memahami bentuk kepemerintahan Portugis selama menduduki Timor Leste
                        3        Untuk mengkaji Proses Memecahnya Timor Leste dari NKRI?
                       
                       
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Timor leste Selama Pendudukan Portugis

            Sejarah Timor Leste berawal dengan kedatangan orang Australoid dan Melanesia. Orang dari Portugal mulai berdagang dengan pulau Timor pada awal abad ke-15 dan menjajahnya pada pertengahan abad itu juga. Setelah terjadi beberapa bentrokan dengan Belanda, dibuat perjanjian pada 1859 di mana Portugal memberikan bagian barat pulau itu. Jepang menguasai Timor Timur dari 1942 sampai 1945, namun setelah mereka kalah dalam Perang Dunia II Portugal kembali menguasainya.
Pada tahun 1975, ketika terjadi Revolusi Bunga di Portugal dan Gubernur terakhir Portugal di Timor Leste, Lemos Pires, tidak mendapatkan jawaban dari Pemerintah Pusat di Portugal untuk mengirimkan bala bantuan ke Timor Leste yang sedang terjadi perang saudara, maka Lemos Pires memerintahkan untuk menarik tentara Portugis yang sedang bertahan di Timor Leste untuk mengevakuasi ke Pulau Kambing atau dikenal dengan Pulau Atauro. Setelah itu FRETILIN menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan Timor Leste sebagai Republik Demokratik Timor Leste pada tanggal 28 November 1975. Menurut suatu laporan resmi dari PBB, selama berkuasa selama 3 bulan ketika terjadi kevakuman pemerintahan di Timor Leste antara bulan September, Oktober dan November, Fretilin melakukan pembantaian terhadap sekitar 60.000 penduduk sipil (sebagian besarnya adalah pendukung faksi integrasi dengan Indonesia). Dalam sebuah wawancara pada tanggal 5 April 1977 dengan Sydney Morning Herald, Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik mengatakan bahwa "jumlah korban tewas berjumlah 50.000 orang atau mungkin 80.000". Tak lama kemudian, kelompok pro-integrasi mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia pada 30 November 1975 dan kemudian meminta dukungan Indonesia untuk mengambil alih Timor Leste dari kekuasaan FRETILIN yang berhaluan Komunis.
Ketika pasukan Indonesia mendarat di Timor Leste pada tanggal 7 Desember 1975, FRETILIN didampingi dengan ribuan rakyat mengungsi ke daerah pegunungan untuk untuk melawan tentara Indonesia. Lebih dari 200.000 orang dari penduduk ini kemudian mati di hutan karena pemboman dari udara oleh militer Indonesia serta ada yang mati karena penyakit dan kelaparan. Banyak juga yang mati di kota setelah menyerahkan diri ke tentara Indonesia, namun Tim Palang Merah International yang menangani orang-orang ini tidak mampu menyelamatkan semuanya.
Selain terjadinya korban penduduk sipil di hutan, terjadi juga pembantaian oleh kelompok radikal FRETILIN di hutan terhadap kelompok yang lebih moderat. Sehingga banyak juga tokoh-tokoh FRETILIN yang dibunuh oleh sesama FRETILIN selama di Hutan. Semua cerita ini dikisahkan kembali oleh orang-orang seperti Francisco Xavier do Amaral, Presiden Pertama Timor Lesta yang mendeklarasikan kemerdekaan Timor Leste pada tahun 1975. Seandainya Jenderal Wiranto (pada waktu itu Letnan) tidak menyelamatkan Xavier di lubang tempat dia dipenjarakan oleh FRETILIN di hutan, maka mungkin Xavier tidak bisa lagi jadi Ketua Partai ASDT di Timor Leste Sekarang.
Selain Xavier, ada juga komandan sektor FRETILIN bernama Aquiles yang dinyatakan hilang di hutan (kemungkinan besar dibunuh oleh kelompok radikal FRETILIN). Istri komandan Aquilis sekarang ada di Baucau dan masih terus menanyakan kepada para komandan FRETILIN lain yang memegang kendali di sektor Timur pada waktu itu tentang keberadaan suaminya.
Selama perang saudara di Timor Leste dalam kurun waktu 3 bulan (September-November 1975) dan selama pendudukan Indonesia selama 24 tahun (1975-1999), lebih dari 200.000 orang dinyatakan meninggal (60.000 orang secara resmi mati di tangan FRETILN menurut laporan resmi PBB). Selebihnya mati ditangan Indonesia saat dan sesudah invasi dan adapula yang mati kelaparan atau penyakit. Hasil CAVR menyatakan 183.000 mati di tangan tentara Indonesia karena keracunan bahan kimia dari bom-bom napalm, serta mortir-mortir.
Timor Leste menjadi bagian dari Indonesia tahun 1976 sebagai provinsi ke-27 setelah gubernur jendral Timor Portugis terakhir Mario Lemos Pires melarikan diri dari Dili setelah tidak mampu menguasai keadaan pada saat terjadi perang saudara. Portugal juga gagal dalam proses dekolonisasi di Timor Portugis dan selalu mengklaim Timor Portugis sebagai wilayahnya walaupun meninggalkannya dan tidak pernah diurus dengan baik.
Amerika Serikat dan Australia "merestui" tindakan Indonesia karena takut Timor Leste menjadi kantong komunisme terutama karena kekuatan utama di perang saudara Timor Leste adalah Fretilin yang beraliran Marxis-Komunis. AS dan Australia khawatir akan efek domino meluasnya pengaruh komunisme di Asia Tenggara setelah AS lari terbirit-birit dari Vietnam dengan jatuhnya Saigon atau Ho Chi Minh City.
Namun PBB tidak menyetujui tindakan Indonesia. Setelah referendum yang diadakan pada tanggal 30 Agustus 1999, di bawah perjanjian yang disponsori oleh PBB antara Indonesia dan Portugal, mayoritas penduduk Timor Leste memilih merdeka dari Indonesia. Antara waktu referendum sampai kedatangan pasukan perdamaian PBB pada akhir September 1999, kaum anti-kemerdekaan yang konon didukung Indonesia mengadakan pembantaian balasan besar-besaran, di mana sekitar 1.400 jiwa tewas dan 300.000 dipaksa mengungsi ke Timor barat. Sebagian besar infrastruktur seperti rumah, sistem irigasi, air, sekolah dan listrik hancur. Pada 20 September 1999 pasukan penjaga perdamaian International Force for East Timor (INTERFET) tiba dan mengakhiri hal ini. Pada 20 Mei 2002, Timor Timur diakui secara internasional sebagai negara merdeka dengan nama Timor Leste dengan sokongan luar biasa dari PBB. Ekonomi berubah total setelah PBB mengurangi misinya secara drastis.
Semenjak hari kemerdekaan itu, pemerintah Timor Leste berusaha memutuskan segala hubungan dengan Indonesia antara lain dengan mengadopsi Bahasa Portugis sebagai bahasa resmi dan mendatangkan bahan-bahan kebutuhan pokok dari Australia sebagai "balas budi" atas campur tangan Australia menjelang dan pada saat referendum. Selain itu pemerintah Timor Leste mengubah nama resminya dari Timor Leste menjadi Republica Democratica de Timor Leste dan mengadopsi mata uang dolar AS sebagai mata uang resmi yang mengakibatkan rakyat Timor Leste menjadi lebih krisis lagi dalam hal ekonomi.
2.2 kepemerintahan Portugis Hingga Melepas dari NKRI
Propinsi Daerah Tingkat I Timor-Timur di bentuk tanggal 17 Juli 1976 dengan Undang-undang No 7 tahun1976. Wilayah ini, sebelumnya lebih dari 450 tahun berada di bawah tangan  penjajahan Portugis.
Kedatangan kolonial Portugis tidak sepenuhnya diterima oleh penduduk pribumisetempat. Karena itu, lahir pelbagai reaksi, antara lain dalam perlawanan-perlawanan. 
Salah satu perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Portugis yang cukup besardan terorganisasi adalah Perlawanan Viqueque, di samping perlawanan-perlawanan kecil lainnya. Perlawanan-perlawanan ini terjadi karena penduduk pribumimerasa bahwa pembayaran pajak yang dilakukan terlalu banyak menekan mereka, disamping berbagai perlakuan pemerintah Portugis yang dirasakan sangat memberatkandan diskriminatif sebagaimana layaknya setiap
penjajah. Perlawanan ini bermula dari situasi setelah Perang Dunia II, dimana bangsa Indonesia yang berada di bawah penindasan kolonial Belanda menyatakan kemerdekaanya melalui proklamasi tanggal 17 Agustus 1945. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ini tersebar keseluruh dunia, dan sampai juga ke Timor Portugis. Pada tahun 1953, beberapa tokoh Timor Portugis yang telah mendengar kemerdekaan atas diri saudara-saudaranya di Timor Barat (NTT) serta mendengar bahwa Pemerintah RI telah berhasil menyelenggarakan suatu konprensi bangsa-bangsa Asia-Afrika di Bandung tahun 1955, yang melahirkan keputusan mendukung kemerdekaan dari penindasan kolonial bagi setiap bangsa .
Pada ahun 1955 itu sebenarnya  sudah ada rencana pemberontakan dari pemuda-pemuda di Dili. Para pemuda itu lalu menyebar-luaskan rencananya itu ke Kabupaten-kabupaten. Secara perlahan-lahan lahir perasaan nasionalisme di kalangan pemuda Timor Portugis. Pada tahun 1959, semangat untuk melepaskan diri dari kaum kolonial makin kuat. Ini terlihat dari berkembangnya rncana untuk melakukan perjuangan pada akhir tahun 1959. Dukungan terhadap rencana itu semakin luas dan tersebar ke Aileu, Same, Ermera, Baucau dan lain-lain. Untuk merencanakan rencana itu, diadakan pertemuan yang hasilnya memutuskan bahwa pelaksanaan perjuangan ditetapkan pada 42 Desember 1959, bertepatan dengan malam tahun baru. karena menurut analisis para pemuda itu, pada malam tahun baru orang-orang dan tentara Portugis selalu berpesta pora sehinga penjagaannya tidak ketat dan serangan dapat dilakukan.
Walapun pemberontakan itu di rencanakan secara rahasia dan tertutup, dapat tercium juga oleh mata-mata Portugis. Mereka segera melakukan penangkapan terhadap pemuda-pemuda yang dicurigai baik yang berada di kota Dili maupun di Kabupaten-kabupaten. Pemuda-pemuda itu di tangkap, disiksa dan dibunuh serta sebagian dari mereka sekitar 68 orang di buang ke Angola dan Mozambique, daerah jajahan Portugis di Afrika dan sebagian di bawa ke Portugal. Akibat yang paling menyedihkan dari pemberontakan tahun 1959 itu ialah dilakukannya pembunuhan terhadap ratusan rakyat yang dituduh mempunyai hubungan dengan pemberontakan tersebut. Perlawanan rakyat yang di gerakkan dari Viqueque ini merupakan awal dari keinginan rakyat untuk berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. tuntutan integrasi sebenarnya sudah muncul sejak awal tahun 1950-an. Bahkan pada tanggal 3 Juni 1959, rakyat Timor Portugis, terutama rakyat Kabupaten viqueque bangkit mengangkat senjata melawan penjajah portugis.
 Dengan semangat ingin bersatu dengan Indonesia yang telah merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945, rakyat membusungkan dada dengan mengibarkan bendere merah putih sebagai panji perjuangan. Beberapa tokoh pemberontakan itu seperti Jose Manuel Duarte, Salem Musalam Sagran dan Germano D.A. Silva kini menjadi saksi hidup yang banyak bercerita tentang bagaimana perlawanan terebut, cita-cita intergrasi penderitaan akibat kegagalan perjuangan karena berhasil ditumpas oleh Pemerintahan Portugis. Selain ketiga tokoh tersebut, pada pertengahan januari 1996, ketiga pelaku pergerakan viqueque yang oleh pemerintah Portugis di buang ke Angola dan Portugal 36 tahun yang lalu, telah kembali ke Dili dan menyatakan siap untuk tetap tinggal di Timor-Timur. Ketiga pejuang yang telah kembali tersebut adalah Evaristo Da Costa,
 Armindo Amaral dan Dominggos Soares. Perjuangan mereka gagal karena keterbaasan perlengkapan, kurang strategi, lemahnya organisasi sehingga akhirnya perlawanan tersebut tidak mencapai hasil. Namun peristiwa tersebut adalah bukti sejarah bahwa rakyat Timor Timur pernah bangkit dan menyatakan ingin bersatu dengan Indonesia.   Perjuangan rakyat Timor Timur melepaskan diri dari belenggu penjajahan dan kemudian mendapatkan status sebagai salah satu propinsi di Indonesia, berbeda dengan propinsi-propinsi lainnya. tidak ada dugaan sebelumnya bahwa suasana di Timor Portugis akan mengalami perubahan, jika saja tidak terjadi kudeta militer di Portugal pada tanggal 25 April 1974. Kudeta yang dijuluki  "Flower Revolution" atau "Revolusi Bunga" itu tidak hanya mengguncangkan Portugal, tetapi secara cepat mempengaruhi wilayah-wilayah jajahannya. Salah satu diantaranya adalah Timor Timur. Revolusi bunga itu memberi angin kepada rakyat Timor Timur untuk membentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan dan partai-partai politik.  
Peluang ini tidak disia-siakan oleh tokoh-tokoh masyarakat setempat. Kehidupan masyarakat pada masa-masa sebelumnya terbelenggu dengan berbagai keterbatasan, bahkan hubungan antara masyarakat Timor Portugis dengan saudara-saudaranya di Timor bagian barat (Propinsi Nusa Tenggara Timur) tertutup sama sekali. sebab itu pula hampir tidak ada informasi yang berhasil memasuki wilayah Timor Timur. Wilayah ini betul-betul diisolasi oleh portugis. dengan adanya sedikit celah kebebasan, menyusul Revolusi Bunga tersebut, keadaan di Timor Timur segera berubah. dengan cepat diwilayah ini tumbuh dan berkembang beberapa organisasi politik seperti Uniao Democratica Timorense (UDT), Frente Revolucionaria de Timor-Leste Independete (Fretelin) dan Associacao Popular Democratica Timorence (Apodeti).
organisasi Politik yang terakhir ini sebelumnya bernama Associacao Par a Integraco de Timor na Indonesia (AITI), bertujuan memperjuangkan integrasi dengan Indonesia.   Di tingkat politik bilateral, antara Indonesia dan Portugis, sudah sejak bertahun-tahun suasananya dingin. Hal ini disebabkan kegigihan Indonesia mendobrak kolonisasi-kolonisasi yang masih ada di muka bumi melalui forum-forum internasional, dan memutuskan hubungan diplomatik dengan Portugal pada tahun 1964. Karena itu pulalah kunjungan Gubernur Nusa Tenggara Timur El Tari ke Dili, Timor Portugis dari tanggal 28 Februari - 2 Maret 1974 merupakan hal yang istimewa dan membuka linasan sejarah baru. Sesudah kunjungan Gubernur NTT tersebut mendapat sambutan positif dari Gubernur Timor Portugis Fernando Alves Aldeia, hubungan antara kedua daerah mulai sedikit terbuka. Sadar akan perkembangan situasi di Lisabon (Ibu kota Portugal) yang segera dapat membawa dampak di Timor Portugis setelah Revolusi Bunga, Gubernur Timor Portugis bergegas mengutus Mayor Arnao Mitello, kepada staf Angkatan Darat Portugis di Dili menemui Gubernur El Tari di Kupang. Ini terjadi kurang dua bulan setelah El Tari berkunjung ke Dili. Arnao Mitello menjelaskan tentang perubahan politik di Lisabon dan kebijaksaan Pemerintahan Portugal menyangkut koloni-koloni mereka, yang pada garis besarnya dikatakan akan melaksanakan dekolonisasi. 
Sesudah perubahan politik di Lisabon tersebut bermuncululanlah partai-partai politik di Timor Timur dengan mengumumkan keberadaan mereka kepada masyarakat umum, seperti Uniao Democratica Timorense (UDT) pada tangga l 11 Mei 1974. Tokoh-tokoh UDT antara lain Francisco Xavier Lopes da Cruz, Agusto Cesar da Costa Mousinho, Domingos de Oliviera, Joao Carrascalao dan Ir. Mario Viegas Carrascalo. Sesudah itu lahir pula partai kedua yaitu Amisiacao Social Democratica atau ASDT yang kemudian berubah nama menjadi Frente  Revolucionaria de Timor-Leste Independente atau Fretelin pada tanggal 20 Mei 1974, dengan tokoh-tokohnya Francisco Xavier do Amaral, Nicalao Labota, Jose Ramos Horta, Mari Alkatiri. Partai ketiga adalah Associao Popular Democratica de Timor atau Apodeti yang lahir pada tangggal 27 Mei 1974. Berbeda dengan kedua partai yang terdahulu, Apodeti dengan mengatakan tujuannya ingin bergabung dengan Indonesia.
 Tokoh-tokoh partai ini antara lain adalah Arnaldo dos Reis Araujo, Hermenegildo Martins, Jose Fernandio Osorio Soares, Guilherme Maria Goncalves, Alexandrino Borromeu, Casmiro A. dos Reis Araujo dan Jose Antonio Bonifacio dos Reis Araujo. Selain ketiga partai tersebut diatas, masih terdapat dua partai lainnya yaitu Klibur Oan Timor Aswin atau KOTA dibentuk pada tanggak 5 September 1974 dengan Lemos Pedro dos Reis Amaral dan Jose Martins sebagai tokoh pendiri. Sedang partai kelima adalah PARDITO TRABALHISTA yang didirikan pada tanggal 9 Juli 1974 dengan pimpinannya Domingos C. Pereira. Selama bulan-bulan pertama kelahiarannya partai-partai politik ini sibuk mengadakan konsilidasi. Tiga partai di antaranya yakni, UDT, Fretelin, dan Apodeti mengirimkan juga utusan-utusannya ke berbagai negara, khususnya ke negara-negara terdekat seperti Australia dan Indonesia. Ke Indonesia sendiri telah datang Ramos Horta wakil Fretelin dan Francisco Xavier Lopes da Cruz, Ketua Umum UDT. Menanggapi perkembangan ini, pemerintah Indonesia mengumumkan sikapnya pada tanggal 8 Oktober 1974 bahwa Jakarta tidak mempunyai ambisi teritorial. Indonesia menghormati hak rakyat Timor Portugis untuk menentukan nasipnya sendiri dan bila rakyat Timor Portugis ingin bergabung dengan Indonesia, maka penggabungan itu tidak bisa dilakukan atas dua negara, tetapi Timor Timur harus menjadi bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sikap resmi Pemerintah R.I. ini disampaikan kepada pemerintah Portugal di Lisabon oleh utusan Indonesia yang terdiri dari Ali Murtopo, A. Taher (Dubes R.I. di Perancis), dan Frans Seda (Dubes R.I. di Belgia) pada tanggal 14 Oktober 1974.Dalam pertemuan tanggal 14-15 Oktober 1974 di Lisbon tersebut dibahas tentang masa depan Timor Timur. Pemerintah Portugal kemudian mengirimkan utusan balasan ke Jakarta yang dipimpin oleh Dr. Antonio de Almeida Santos (Menteri Seberang Lautan) tanggal 16 Oktober 1974. Santos mengatakan bahwa apapun yang menjadi keinginan rakyat Timor Timur, pemerintah portugis akan menghormatinya. Untuk itu, pemerintah akan menyiapkan undang-undang yang mengatur kepartaian di Timor Timur. Dalam kunjungannya ke Dili setelah dari Jakarta, Dr. Santos menyatakan bahwa sebelum referendum, diadakan pemilihan untuk membentuk "dewan konstituante".
Dewan itulah yang akan menentukan segala sesuatu mengenai referendum. Padahal dewan konstituante tersebut tidak pernah disinggung dalam perundingan dengan Indonesia sewaktu di Jakarta. Ini menandakan bahwa Portugis tidak konsisten dalam masalah dekolonisasi. Bahkan dikatakan bahwa kemerdekaan Timor Timur adalah sesuatu yang tidak realistis dan belum saatnya.   Beberapa kali partai-partai politik tersebut mengadakan perundingan dengan Portugis, namun sejauh itu ternyata tidak membawa hasil. Terutama sesudah pertemuan Macao tanggal 26 Juni 1975, keadaan di Timor Timur semakin tegang dan mencekam. Pertarungan fisik antara ketiga partai politik utama semakin keras dan tidak terhindarkan lagi. Dalam suasana yang semakin tegang dan kacau, Fretelin dan UDT beraliansi dalam wadah koalisi pada tanggal 20 Juni 1975. Akan tetapi koalisi bubar karena kedua partai tersebut terjadi saling kecurigaan dan tidak mempercayai satu sama lain dalam perjuangan. Dengan situasi yang tidak menentu tersebut, UDT melancarkan Gerakan Gerakan Revolusioner Anti Komunis pada tanggal 11 Agustus 1975. gerakan ini gagal karena Fretelin mengadakan perlawanan bahkan berhasil mendesak UDT.
Fretelin mulai melakukan penangkapan, termasuk Raja Atsabe yang adalah tokoh Apodeti, dan rumah-rumah pimpinan UDT di Dili dihancurkan. Situasi semakin memburuk sehingga terjadi pengungsian masyarakat. Arus pengungsi berjejal: semakin meminta perlindungan kepada perwakilan asing di Dili. ada yang melarikan diri ke Australia dan sebagian memasuki wilayah Indonesia terutama Atambua (Propinsi Nusa tenggara Timur) yang semakin lama jumlahnya semakin banyak. keadaan yang kacau ini sama sekali tidak dapat dikuasai oleh pemerintah Portugal, bahkan pagi-pagi tanggal 25 Agustus 1975 Gubernur Portugis Lemos Pires meninggalkan daratan Timor dan menyeberang ke Pulau Atauro. Dari tempat yang baru inilah ia menyeru PBB agar mengirim pasukan Internasional. Pemerintah Portugis sendiri secara meminta Indonesia untuk mengungsikan warga Portugis dan orang asing dari kota Dili. Permintaan ini di penuhi Indonesia dengan mengirimkan KRI Mongingsidi dibawah pimpinan Subiyakto.
Tetapi sementara Subiyakto sibuk menyakinkan pihak yang bersengketa untuk memberi kesempatan mengungsikan penduduk asing dari Dili, tiba-tiba Lemos Pires mengeluarkan perintah yang mencengankan. Ia meminta KRI Monging sidi segera meninggalakan Dili. Tindakan Lemos Pires tidak saja disayangkan Oleh Indonesia tetapi juga mendapat protes keras dari Autralia. bukan hanya orang asing saja yang ketinggalan, bahkan staf konsulat Indonesia di Dili juga tidak sempat naik ke kapal, sehingga mereka terpaksa melaliui jalan darat ke Kupang tanggal 30 Agustus 1975. Memasuki bulan September 1975Fretelin sudah mengambil alih kekuasaan di Timor Timur.
 Pasukan UDT di berbagai tempat di lumpuhkan. Demikian juga tindakan balas dendam semakin menjadi-jadi, tidak saja kepada UDT tetapi juga kepada Apodeti. Arus pengungsi ke wilayah Indonesia semakin berjubel, termasuk juga anggota-anggota UDT, walaupun Lopes da Cruz terus bertahan di sekitar perbatasan Indonesia antara Batugade-Raiikun (NTT). Fretelin yang semakin keras tidak hanya mengejar pengikut-pengikut UDT di wilayah Timor Timur, tetapi juga mengejar para pengungsi ke perbatasan wilayah Indonesia dan bahkan kemudian dalam pengejarannya pasukan fretelin ini melewati perbatasan. Banyak penduduk Indonesia ikut menjadi korban. Dalam keadaan terdesak tersebut, pimpinan UDT mulai reintrospeksi, dan pada awal September 1975 sejumlah tokoh UDT mengadakan pertemuaannya di tempat pengungsian sekitar Maliana.  Mengahadapi keadaan yang semakin memprihatinkan ini, pemerintah Portugis ternyata tidak bisa berbuat apa-apa.
 Bahkan Menteri Negara Portugis Dr Antonio de Almeida Santos yang ditugaskan oleh pemerintahnya untuk melihat situasi Timor Timur dari dekat, tidak pernah melihat keadaan pengungsi-pengungsi Timor Timur atau pun mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh UDT dan Apodeti. Ia hanya mengadakan pertemuan dengan Fretelin guna pembebasan orang-orang Portugis. Kendatipun demikian, kedatangan Santos kedua kalinya ke Jakarta pada tanggl 11 September 1975 untuk menjelaskan kegagalannya bertemu tokoh-tokoh UDT dan Apodeti diterima oleh Pemerintah Republik Indonesia. Bahkan Jakarta menawarkan kembali agar Santos dapat bertemu dengan pemimpin UDT dan Apodeti sekaligus melihat keadaan pengungsi Timor Timur di Atambua, wilayah R.I. Tetapi tawaran bantuan Pemerintah Indonesia ini ditolak oleh Dr. Santos, dan dari sikapnya itu tercermin bahwa Portugis tidak melakukan usaha yang sungguh-sungguh untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa. Portugis hanya ingin menyelamatkan serdadu-serdadunya saja tanpa mengindahkan persoalan-persoalan yang dihadapi pihak lain seperti Indonesia, yang sama sekali tidak ada hubungannya dan hanya menerima akibatnya saja seperti korban jiwa penduduk Indonesia di perbatasan dan biaya yang dikeluarkan untuk membantu para pengungsi tersebut. Sementara pertemuan Indonesia-Portugal berjalan di Jakarta, situasi di Timor Timur terus bergejolak. Fretelin yang merasa berada di atas angin segera mengirim telegram ke berbagai pelosok dunia bahwa mereka sudah menguasai Timor Timur dan memplokamirkan berdirinya Republik Demokrasi Timor pada tanggal 28 November 1975. Untuk membendung kegiatan yang menentang usahanya, Fretelin melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap lawan-lawan politiknya. Antara lain yang menjadi korban pembunuhannya adalah tokoh dan sekretaris Jendral Apodeti Jose Fernando Osorio Soares bersama eman orang lainnya di Same pada tanggal 27 Juni 1976.
 Melihat perkembangan situasi dari Fretelin yang semakin merajalela, tokoh-tokoh UDT mengadakan pertemuan di Maliana. Mereka mulai sadar bahwa Integrasi dengan Negara Kesatuan R.I. adalah jalan keluar yang paling baik bagi masa depan Timor Timur. Konsultasi anrata tokoh UDT, APODETI, KOTA, dan TRABALHISTA menghasilkan kesepakatan untuk memperjuangkan integrasi secara bersama-sama. Sebagai reaksi atas proklamasi sepihak Fretelin, maka gabungan APODETI, UDT, KOTA dan TRABALHISTA menyatakan Deklarasi Balibo sebagai pernyataan rakyat Timor Timur telah berintegrasi dengan Negara Kesatuan R.I. tanggal 30 November 1975 di Balibo Kabupaten Bobonaro. Sikap politik keempat partai politik itu, diiringi pula dengan persiapan pembentukan pasukan gabungan yang direkrut dari para pengungsi yang jumlahnya sekitar 40.000 orang. Demikianlah dari perbatasan, pasukan pengungsi ini kembali ke Timor Timur dan menyerang kedudukan pasukan Fretelin. Mulanya secara bergerilya tetapi kemudian secara frontal.
 Tanggal 3 Oktober 1975 pasukan gabungan ini berhasil menguasai Batugade, sebuah kota kecil dekat perbatasan Timor Timur dengan NTT. Pernyataan atau Proklamasi ini dikeluarkan di Balibo sehingga selanjutnya terkenal dengan Proklamasi Balibo. Setelah proklamasi tersebut, pasukan gabungan keempat partai semakin meningkatkan tekanannya terhadap kedudukan-kedudukan pasukan Fretelin. Sampai awal Desember 1975, pasukan gabungan sudah berhasil mengusai beberapa kota. Fretelin sendiri yang ternyata tidak mendapat tempat di hati rakyat, terpaksa memusatkan pertahanan mereka di kota Dili. Akhirnya kota inipun pada lewat tengah malam 7 Desember 1975 berhasil direbut pasukan gabungan. Pasukan gabungan segera mengeluarkan para tahanan. Salah seorang diantaranya adalah tokoh utama Apodeti Arnaldo dos Reis Araujo. Setelah Dili dikuasai, Fretelin melarikan diri ke gunung-gunung. Sinar cerah wilayah bekas jajahan Portugis ini mulai terlihat. Setelah keadaan sepenuhnya dikuasai, tokoh-tokoh gabungan keempat partai membentuk Pemerintah Sementara Timor Timur (PSTT) yang bersifat Otonom.
 Kemudian di lengkapi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Timor Timur. PSTT dipimpin oleh Arnaldo dos Reis Araujo. Tokoh Apodeti dan wakilnya Francisco Lopes da Cruz ketua UDT, sedangkan DPR Timor Timur diketahui oleh Guilherme Maria Goncalves dari unsur Apodeti.    Pada 31 Mei 1976 Dewan Perwakilan Rakyat Timor Timur mengeluarkan petisi yang isinya Mendesak Pemerintah Indonesia agar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya menerima dan mengesahkan bersatunya rakyat serta wilayah Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seminggu kemudian yaitu tanggal 7 Juni 1976 para pemimpin PST dan DPR Timor Timur menyerahkan petisi rakyat Timor Timur tersebut pada Presiden Republik Indonesia di Jakarta.  Setelah menerima petisi tersebut, maka Pemerintah R.I. membentuk dan mengirimkan delegasi untuk memperoleh gambaran secara secara langsung kehendak rakyak Timor Timur. Setelah mengadakan peninjaun ke berbagai wilayah Timor Timur tanggal 29 Juni 1976, kemudian, pemerintah mengajukan Rancangan Undang-undang tentang Penyatuan Timor Timur ke dalam negara Kesatuan Republik Indonesia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. pada sidang Pleno DPR-RI secara aklamasi pimpinan dan anggota Dewan menyetujui dan kemudian mengesahkannya dengan Undang-Undang Nomer 7 tahun 1976 tanggal 17 Juli 1976. Dalam Undang-Undang itu dimuat tentang Penyatuan Timor Timur kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sekaligus pembentukan Timor Timor sebagai provinsi ke-27. Secara simbolis Presiden kemudian menyerahkan duplikat bendera pusaka kepada Arnaldo dos Reis Araujo dan Franscico X. Lopes da Cruz, dan salinan teks Proklamasi Republik Indonesia kepada Lopes da Cruz.
Sebagai tindak lanjut dari proses integrasi itu, dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1976 yang mengatur status Pemerinta Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur. Sejak ditetepkan sebagai propinsi ke-27, Timor Timur telah dipimpin oleh empat orang Gubernur, yaitu: Arnaldo dos Reis Araujo (1976-1978) sebagai Gubernur KDH Tingkat I yang pertama, Guilherme Maria Goncalves (1978-1982) sebagai GubernurKDH Tingkat kedua, Ir. Mario Viegas carrascalao (1982-1992) sebagai Gubernur KDH Tingkat I yang ketiga, dan Abilio Jose Osorio Soares (1992- 1999), sebagai Gubernur KDH Tingkat I yang keempat.
2.2 Pisahnya Timor Leste dari NKRI
Peristiwa-peristiwa sekitar integrasi Timor Timur dengan Indonesia pada tahun 1976 juga ikut memegang peranan dalam hubungan Australia-Indonesia. Sesudah Portugis meninggalkan bekas daerah jajahannya tersebut di tahun 1975, Angkatan bersenjata Indonesia memasuki Timor Timur pada bulan Desember 1975 dan kawasan ini menjadi satu dengan Republik Indonesia di tahun 1976. Hal ini menyebabkan perdebatan di Australia. Di samping itu, kematian lima wartawan Australia di Timor Timur di tahun 1975 telah menjadi perhatian masyarakat Australia dan media. Namun pada akhirnya Australia mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor Timur secara de jure tahun 1979. Namun dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis dengan jatuhnya Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Pada tanggal 30 Agustus 1999, melalui jajak pendapat, rakyat Timor Timur memilih merdeka (78.5%). Pengumuman hasil pemilihan umum tersebut diikuti dengan kekerasan yang meluas oleh unsur-unsur pro-integrasi. Australia kemudian diminta oleh PBB untuk memimpin kekuatan internasional di Timor Timur atau International Force in East Timor (disingkat INTERFET) dalam menjalankan tugasnya untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut. Pada tanggal 20 Oktober, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut keputusan penyatuan Timor Timur dengan Indonesia.
Integrasi Timor Timur 1976
Pada tahun 1975, ketika terjadi Revolusi Bunga di Portugal dan Gubernur terakhir Portugal di Timor Leste, Lemos Pires, tidak mendapatkan jawaban dari Pemerintah Pusat di Portugal untuk mengirimkan bala bantuan ke Timor Leste yang sedang terjadi perang saudara, maka Lemos Pires memerintahkan untuk menarik tentara Portugis yang sedang bertahan di Timor Leste untuk mengevakuasi ke Pulau Kambing atau dikenal dengan Pulau Atauro. Setelah itu FRETILIN menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan Timor Leste sebagai Republik Demokratik Timor Leste pada tanggal 28 November 1975. Menurut suatu laporan resmi dari PBB, selama berkuasa selama 3 bulan ketika terjadi kevakuman pemerintahan di Timor Leste antara bulan September, Oktober dan November, Fretilin melakukan pembantaian terhadap sekitar 60.000 penduduk sipil (sebagian besarnya wanita dan anak2 karena para suami mereka adalah pendukung faksi integrasi dengan Indonesia). Berdasarkan itulah, kelompok pro-integrasi kemudian mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia pada 30 November 1975 dan kemudian meminta dukungan Indonesia untuk mengambil alih Timor Leste dari kekuasaan FRETILIN yang berhaluan Komunis.
Tiga Kuburan Masal sebagai bukti pembantaian FRETILIN terhadap pendukung integrasi terdapat di Kabupaten Aileu (bagian tengah Timor Leste), masing-masing terletak di daerah Saboria, Manutane dan Aisirimoun. Ketika pasukan Indonesia mendarat di Timor Leste pada tanggal 7 Desember 1975, FRETILIN memaksa ribuan rakyat untuk mengungsi ke daerah pegunungan untuk dijadikan tameng hidup atau perisai hidup (human shields) untuk melawan tentara Indonesia. Lebih dari 200.000 orang dari penduduk ini kemudian mati di hutan karena penyakit dan kelaparan. Selain terjadinya korban penduduk sipil di hutan, terjadi juga pembantaian oleh kelompok radikal FRETILIN di hutan terhadap kelompok yang lebih moderat. Sehingga banyak juga tokoh-tokoh FRETILIN yang dibunuh oleh sesama FRETILIN selama di Hutan. Semua cerita ini dikisahkan kembali oleh orang-orang seperti Francisco Xavier do Amaral, Presiden Pertama Timor Leste yang mendeklarasikan kemerdekaan Timor Leste pada tahun 1975. Seandainya Jenderal Wiranto (pada waktu itu Letnan) tidak menyelamatkan Xavier di lubang tempat dia dipenjarakan oleh FRETILIN di hutan, maka mungkin Xavier tidak bisa lagi jadi Ketua Partai ASDT di Timor Leste sekarang.
Selain Xavier, ada juga komandan sektor FRETILIN bernama Aquiles yang dinyatakan hilang di hutan (kemungkinan besar dibunuh oleh kelompok radikal FRETILIN). Istri komandan Aquilis sekarang ada di Baucau dan masih terus menanyakan kepada para komandan FRETILIN lain yang memegang kendali di sektor Timur pada waktu itu tentang keberakaan suaminya. Hal yang sama juga dilakukan oleh kelompok pro-kemerdekaan terhadap tentara Indonesia tentang keberadaan komandan Konis Santana dan Mauhudu yang dinyatakan hilang di tangan tentara Indonesia. Selama perang saudara di Timor Leste dalam kurun waktu 3 bulan (September-November 1975) dan selama pendudukan Indonesia selama 24 tahun (1975-1999), lebih dari 200.000 orang dinyatakan meninggal (60.000 orang secara resmi mati di tangan FRETILN menurut laporan resmi PBB). Selebihnya tidak diketahui apakah semuanya mati kelaparan atau mati di tangan tentara Indonesia. Hasil CAVR menyatakan 183.000 mati di tangan tentara Indonesia karena keracunan bahan kimia (tidak dirinci bagaimana caranya), namun sejarah akan menentukan kebenaran ini, karena keluarga yang sanak saudaranya meninggal di hutan tidak bisa tinggal diam dan kebenaran akan terungkap apakah benar tentara Indonesia yang membunuh sejumlah jiwa ini ataukah sebaliknya. Situasi aktual di Timor Leste akhir-akhir ini adalah cerminan ketidak puasan rakyat bahwa rakyat tidak bisa hidup hanya dari propaganda tapi dari roti dan air. Rakyat tidak bisa hidup dari “makan batu” sebagaimana dipropagandakan FRETILIN selama kampanye Jajak Pendapat tahun 1999 “Lebih baik makan batu tapi merdeka, dari pada makan nasi tapi dengan todongan senjata”. Kenyataan membuktikan bahwa “batu tidak bisa dimakan”, dan rakyat perlu makanan yang layak dimakan manusia.
Insiden Santa Cruz 1992
Benedict Anderson dalam Nasionalisme, Asia Tenggara, dan Dunia (2002) mengatakan, lubang hitam dalam sejarah Indonesia di pulau kecil sebelah utara lepas pantai Australia itu cenderung ditutup-tutupi, termasuk jumlah penduduk Timor Timur yang tewas akibat kelaparan, wabah, dan pertempuran 1977-1979. Padahal, menurut Peter Carey (1995), jumlahnya melebihi angka kematian penduduk Kamboja di bawah Pol Pot.
 Fakta sejarah ini amat jarang diberitakan media Indonesia. Kalaupun ada, media yang memberitakan niscaya akan menemui ajal. Majalah Jakarta-Jakarta, sebagai salah satu media populer, misalnya, menjadi korban pemberitaan tentang Timor Timur tahun 1992.Namun, meski media dimatikan, cerita yang berkisah tentang Insiden Dili, 12 November 1991, masih terbaca sebagai cerpen. Pelajaran Sejarah (Seno Gumira Ajidarma, Saksi Mata, Penerbit Bentang, 1994) yang menjadi fiksi dari peristiwa Santa Cruz itu ditulis oleh wartawan dari media yang terkena “pembredelan” pemerintah saat itu. Bagi sang wartawan, cerpen atau fiksi merupakan cara lain untuk menyajikan berita atau fakta sejarah yang sengaja disembunyikan, bahkan dihilangkan. Maka, sejarah bukan sekadar catatan penyebab kejadian pada masa lalu, tetapi juga demi menyiapkan akibat selanjutnya pada masa kini.
Insiden Santa Cruz (juga dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz) adalah penembakan pemrotes Timor Timur di kuburan Santa Cruz di ibu kota Dili pada 12 November 1991. Para pemrotes, kebanyakan mahasiswa, mengadakan aksi protes mereka terhadap pemerintahan Indonesia pada penguburan rekan mereka, Sebastião Gomes, yang ditembak mati oleh pasukan Indonesia sebulan sebelumnya. Para mahasiswa telah mengantisipasi kedatangan delegasi parlemen dari Portugal, yang masih diakui oleh PBB secara legal sebagai penguasa administrasi Timor Timur. Rencana ini dibatalkan setelah Jakarta keberatan karena hadirnya Jill Joleffe sebagai anggota delegasi itu. Joleffe adalah seorang wartawan Australia yang dipandang mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin.
Dalam prosesi pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin kemerdekaan Xanana Gusmao. Pada saat prosesi tersebut memasuki kuburan, pasukan Indonesia mulai menembak. Dari orang-orang yang berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. Salah satu yang meninggal adalah seorang warga Selandia Baru, Kamal Bamadhaj, seorang pelajar ilmu politik dan aktivis HAM berbasis di Australia.
Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat; Amy Goodman dan Allan Nairn; dan terekam dalam pita video oleh Max Stahl, yang diam-diam membuat rekaman untuk Yorkshire Television di Britania Raya. Para juru kamera berhasil menyelundupkan pita video tersebut ke Australia. Mereka memberikannya kepada seorang wanita Belanda untuk menghindari penangkapan dan penyitaan oleh pihak berwenang Australia, yang telah diinformasikan oleh pihak Indonesia dan melakukan penggeledahan bugil terhadap para juru kamera itu ketika mereka tiba di Darwin. Video tersebut digunakan dalam dokumenter First Tuesday berjudul In Cold Blood: The Massacre of East Timor, ditayangkan di ITV di Britania pada Januari 1992.
Tayangan tersebut kemudian disiarkan ke seluruh dunia, hingga sangat mempermalukan permerintahan Indonesia. Di Portugal dan Australia, yang keduanya memiliki komunitas Timor Timur yang cukup besar, terjadi protes keras. Banyak rakyat Portugal yang menyesali keputusan pemerintah mereka yang praktis telah meninggalkan bekas koloni mereka pada 1975. Mereka terharu oleh siaran yang melukiskan orang-orang yang berseru-seru dan berdoa dalam bahasa Portugis. Demikian pula, banyak orang Australia yang merasa malu karena dukungan pemerintah mereka terhadap rezim Soeharto yang menindas di Indonesia, dan apa yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi bangsa Timor Timur yang pernah berjuang bersama pasukan Australia melawan Jepang pada Perang Dunia II.
Meskipun hal ini menyebabkan pemerintah Portugal meningkatkan kampanye diplomatik mereka, bagi pemerintah Australia, pembunuhan ini, dalam kata-kata menteri luar negeri Gareth Evans, merupakan ‘suatu penyimpangan’. Pembantaian ini (yang secara halus disebut Insiden Dili oleh pemerintah Indonesia) disamakan dengan Pembantaian Sharpeville di Afrika Selatan pada 1960, yang menyebabkan penembakan mati sejumlah demonstran yang tidak bersenjata,
dan yang menyebabkan rezim apartheid mendapatkan kutukan internasional.
Jajak Pendapat 1999
Munculnya tekanan-tekanan dari masyarakat internasional menanggapi kasus-kasus yang terjadi di timor timur itu memaksa Indonesia untuk mengeluarkan kebijakan guna mengakomodasi aspirasi masyarakat Timor Timur. Tekanan ini juga mendorong Pemerintah Indonesia untuk membahas masalah ini ke tingkat internasional. Akhirnya, pada Juni 1998, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk memberikan status khusus berupa otonomi luas kepada Timor Timur. Usulan Indonesia itu disampaikan kepada Sekjen PBB. Sebagai tindak lanjutnya, PBB pun mengadakan pembicaraan segitiga antara Indonesia, Portugal, dan PBB. Selama pembicaraan ini, masih terjadi kerusuhan antara pihak pro kemerdekaan dan pro integrasi di Timor Timur. Kerusuhan ini semakin manambah kecaman dari dari masyarakat internasional, khusunya dari negara-negara Barat, yang merupakan sasaran utama speech act dalam usaha sekuritisasi kasus Timor Timur.
Berangkat dari pembicaraan tiga pihak serta kecaman yang semakin keras dari dunia internasional, Indonesia memutuskan untuk melaksanakan jajak pendapat rakyat Timor Timur dilakukan secara langsung. Menanggapi keputusan Indonesia tersebut, pihak-pihak yang berada dalam pembicaraan segitiga di atas menyepakati Persetujuan New York yang mencakup masalah teknis dan substansi jajak pendapat. Jajak pendapat pun berakhir dengan kemenangan di pihak pro kemerdekaan Timor Timur. Dengan kemenangannya ini, Timor Timur meraih kedaulatan sebagai sebuah negara.Kedaulatan negara merupakan satu hal yang selama ini dikejar oleh pihak Timor Timur. berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia, yang dibuktikan oleh Peristiwa Santa Cruz menjadi batu loncatan bagi usaha sekuritisasi perjuangan meraih kembali kedaulatan Timor Timur.
Kunci dari berhasilnya perjuangan meraih kemerdekaan Timor Timur adalah dukungan internasional. Oleh karena itu sekuritisasi menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan oleh Timor Timur. Berbagaispeech act telah dilakukan oleh securitizing actor untuk meraih dukungan internasional. Usaha sekuritisasi ini mencapai keberhasilannya tidak hanya saat Timor Timur merdeka dari Indonesia, namun juga saat sejumlah negara mulai mendukung perjuangan kemerdekaan Timor Timur.
Pada HUT ke-10 The Habibie Center, mantan Presiden BJ Habibie menyatakan Timor Leste tidak pernah masuk Proklamasi RI. Alasannya, karena yang diproklamasikan adalah Hindia Belanda (Kompas, 9/11/2009). Pernyataan ini patut pula kita salami  karena terkait masa lalu Indonesia yang secara historis banyak menyimpan anakronisme yang menyamarkan beragam fakta. Timor Leste adalah contoh. Semula negeri itu dianggap berintegrasi ke NKRI sebagai Timor Timur. Ternyata bekas koloni Portugis itu dianeksasi melalui semacam invasi militer tahun 1975.
Dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis dengan jatuhnya Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Di bulan Januari 1999, diumumkan bahwa Indonesia akan menawarkan otonomi kepada Timor Timur. Jika rakyat Timor Timur menolak tawaran ini, maka Indonesia akan menerima pemisahan diri Timor Timur dari Republik Indonesia. Pada tanggal 5 Mei 1999, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia dan Portugis menandatangani Perjanjian Tripartit yang menyatakan bahwa PBB akan menyelenggarakan jajak pendapat di Timor-Timur. Rakyat diminta memilih apakah Timor Timur tetap menjadi bagian dari Indonesia ataukah Timor Timur menjadi negara merdeka. Habibie mengeluarkan pernyataan pertama mengenai isu Timor Timur pada bulan Juni 1998 dimana ia mengajukan tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor Timur. Proposal ini, oleh masyarakat internasional, dilihat sebagai pendekatan baru.
Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal dengan menyatakan bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final atas masalah Timor Timur.Beberapa pihak meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan akibat dari surat yang dikirim Perdana Menteri Australia John Howard pada bulan Desember 1998 kepada Habibie yang menyebabkan Habibie meninggalkan opsi otonomi luas dan memberi jalan bagi referendum. Akan tetapi, pihak Australia menegaskan bahwa surat tersebut hanya berisi dorongan agar Indonesia mengakui hak menentukan nasib sendiri (right of self-determination) bagi masyarakat Timor Timur.
 Namun, Australia menyarankan bahwa hal tersebut dijalankan sebagaimana yang dilakukan di Kaledonia Baru dimana referendum baru dijalankan setelah dilaksanakannya otonomi luas selama beberapa tahun lamanya. Karena itu, keputusan berpindah dari opsi otonomi luas ke referendum merupakan keputusan pemerintahan Habibie sendiri. Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian memojokkan pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena beberapa hal. Pertama, Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi referendum di Timor Timur karena ia dianggap sebagai presiden transisional.
Kedua, kebijakan Habibie dalam isu Timor Timur merusakan hubungan saling ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto, panglima TNI pada masa itu. Di hari-hari jatuhnya Suharto dari kursi kepresidenannya, Jenderal Wiranto dilaporkan bersedia mendukung Habibie dengan syarat Habibie mengamankan posisinya sebagai Panglima TNI. Sementara itu, Habibie meminta Wiranto mendukung pencalonan Akbar Tanjung sebagai Ketua Golkar pada bulan Juli 1998. Hal ini cukup sulit bagi Wiranto karena calon lain dalam Kongres Partai Golkar adalah Edi Sudrajat yang didukung oleh Try Sutrisno, kesemuanya adalah mantan senior Jenderal Wiranto. Namun Wiranto tidak memiliki pilihan lain dan menginstruksikan semua pimpinan TNI di daerah untuk mendorong semua ketua Golkar di daerah untuk memilih Akbar Tanjung.
Habibie kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat internasional maupun domestik. Di mata internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam pernyataan-pernyataannya mendukung langkah presiden Habibie menawarkan refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro integrasi yang berujung pada tindakan kekerasan di Timor Timur setelah referendum.
Di mata publik domestik, Habibie juga harus menghadapi menguatnya sentimen nasionalis, terutama ketika akhirnya pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Sebagai akibatnya, peluang Habibie untuk memenangi pemilihan presiden pada bulan September 1999 hilang. Sebaliknya, citra TNI sebagai penjaga kedaulatan territorial kembali menguat. Padahal sebelumnya peran politik TNI menjadi sasaran kritik kekuatan pro demokrasi segera setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998.
Tanggal 30 Agustus merupakan tanggal yang sangat sakral dalam dinamika perpolitikan Negara yang seumur jagung ini. Pada hari itu diadakan jajak pendapat di Timor Leste (pada saat itu masih bernama Timor Timur). Jajak pendapat inilah yang nantinya berujung pada kemerdekaan (bekas) provinsiTimor Timur ini. Pada akhirnya, hasil jajak pendapat tersebutlah yang dapat menjawab nasib rakyat Timor Leste selanjutnya. Sebagian besar rakyat Timor Timur lebih memilih untuk merdeka (78.5%). Pengumuman hasil pemilihan umum tersebut diikuti dengan kekerasan yang meluas oleh unsur-unsur pro-integrasi.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa pada akhirnya, pasukan Australia lah yang menjadi pahlawan dalam kasus ini. Australia telah memperhitungkan semua ini secara cermat dan tepat. Australia memainkan peranan pokok dalam memobilisasi tanggapan internasional terhadap krisis kemanusiaan yang membayang nyata. Pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Jakarta menyetujui keterlibatan angkatan internasional pemilihara keamanan di kawasan ini. Australia diminta oleh PBB untuk memimpin angkatan tersebut, dan menerima tugas ini. Kekuatan internasional di Timor Timur atau International Force in East Timor (disingkat INTERFET) telah berhasil dikirim ke Timor Timur dan menjalankan tugasnya untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut. Pada tanggal 20 Oktober, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut keputusan penyatuan Timor Timur dengan Indonesia.
Terkait hal ini, SBY pernah menyatakan bahwa hasil jajak pendapat di Timor Timur pada 1999, merupakan buah dari reformasi di Indonesia. Sebagaimana negara Indonesia mengakui Timor Leste yang merdeka, MPR saat itu pada 1999 mengakui hasil jajak pendapat tersebut.
Sejak awal 2000, kedua pemerintahan pemerintahan mencari pemecahan masa lalu, yang terjadi menjelang, selama, dan segera setelah jajak pendapat. Pertama melalui pendekatan hukum dan cara kedua melalui pendekatan kebenaran dan persahabatan yang tidak berujung pada peradilan. Kedua pemerintahan sepakat untuk menempuh yang kedua melalui Komisi Kebenaran dan Persahabatan. Juga harus diketahui, adalah presiden, waktu itu Menteri Luar Negeri Horta dan Xanana, yang menganjurkan kepada pemerintah Indonesia memilih kata persahabatan karena rekonsiliasi sesungguhnya telah terjadi.

BAB III
KESIMPULAN
Negara Timor Leste merupakan Negara yang dulunya merupakan wilayah kekuasaan Indonesia dibawah NKRI. Sejarah Timor Leste yang dulunya bernama Timor Timur berawal dengan kedatangan orang Australoid dan Melanesia. Orang dari Portugal mulai berdagang dengan pulau Timor pada awal abad ke-16 dan menjajahnya pada pertengahan abad itu juga. Setelah terjadi beberapa bentrokan dengan Belanda, dibuat perjanjian pada 1859 di mana Portugal memberikan bagian barat pulau itu. Jepang menguasai Timor Timur dari 1942 sampai 1945, namun setelah mereka kalah dalam Perang Dunia II Portugal kembali menguasainya. Dan hingga akhirnya wilayah Timor Leste melepas dari NKRI dengan bantuan Portugis dan juga perjuangan dplomasi Negara-negara Luar.
sumber:http://edy-the.blogspot.com/2012/05/sejarah-timor-leste.html

1 comment: